Sarung Merah Ayah


Aku bukan anak laki laki yang tak punya mimpi, aku hanya ingin bahagai bersama keluarga hingga akhir hayat, sekarang aku juga ingin seperti ayah yang menjadi petani hebat tak pernah lelah walau kadang merugi besar saat musim yang tidak bisa diprediksi, tapi dengan kegigihan ayah membuat aku berpikir ulang untuk meninggalkannya, setelah ada kejadian yang sangat menyat hati itu, ayah pingsan secara tiba tiba di pinggir sawah dengan nafas yang hampir habis, lalu aku langsung membopong ayah dan segera menolong denga sekuat tenaga yang aku punya. Aku tak apa, lebih baik kau pulang saja, aku hanya lelah dan memikirkanmu bila kau masih disini, pergilah seperti teman temanmu yang disana, agar kau sukses tidak seperti ayah. Dengan raut wajah yang disiratkan, ayah terus saja selalu bilang kepadaku untuk aku harus pergi, namun aku menolaknya dengan lantang bahwa aku tidak akan meninggalkan ayah sampai aku mati. Kemudian ayah aku bergumam untuk aku bawa kerumah dan bilang kepada ibu bahwa ayah tadi terjatuh dan ibu berkata padaku, sudah saatnya nak kau yang menggantikan ayah di ladang, ayah sudah tak ada tenaga lagi, sudah cepat capek, dan sekarang giliranmu untuk bisa berbuat bagi keluarga kita, kau lah harapan kami satu satunya, kakakmu tak jelas dan pergi begitu saja setelah 5 tahun pergi dan hingga sekarang tak ada kabar untuk keluarga, mungkin kamu penerus ayah,

Awas jangan sampai kesana, pergilah, kata ayahku yang sudah tua itu, aku yang disini berkata dengan bijak, aku tak apa tahu, aku hanya ingin belajar bagaimana menjadi ayah yang kuat dan sehat sampai sekarang. Ayah yang sudah berumur 50 tahu ini mememutuskan untuk menjadi petani di usia tuanya, bahkan telah menjadi petani muda di umur 13 tahun, ayah membantu kakek yang dulu juga seorang petani yang rajin yang mengahasilkan banyak bibit padi untuk dijadikan beras lalu dijual ke pasar yang letaknya agak jauh dari rumah, aku hanya ingin menirunya bukan tak mau pergi ke Jakarta layaknya teman teman ku yang mulai beranjak dewasa dan memutuskan untuk bergaya perlente, namun tidak ada kemampuan dalam dunia kerja di Jakarta dan hanya bisa bergaya di dunia luar bahwa desa tak mau kalah dengan kota, mereka datang dengan nada nada medoknya.

“Jangan seperti kakakmu ya, kasian bapakmu tuh sudah batuk batuk”, ungkap ibu yang sambil memegang bahuku lalu mencium rambutku. 

Kejadian itu membuat ku semakin bingung dan terpuruk, bagaimana semua ini bisa terjadi, apa yang harus aku perbuat untuk keluargaku ini, teman teman selalu saja mengejekku bahwa aku hanya di desa, anak desa yang tak punya masa depan, aku hanya bisa pasrah dalam kehidupan di lingkungan teman teman ku itu, dan sebelum mereka pergi mereka berbicara terus seperti itu, hingga akhirnya mereka pergi dan tak ada ejekan lagi, tapi ejekan di dalam diriku yang semakin membuat aku bimbang akan hidup ku ini. Kepala desa yang rumahnya sering aku tumpangi untuk menonton tv, berkata, “bahwa di kota banyak pekerjaan yang lebih layak dari petani yang berlumur kotor, kau tak mau tampil di TV layaknya artis megapolitan yang sering kita lihat di TV kan, bukanya itu keren sekali, kau tak mau ikut dengan teman temanmu, susul mereka sana, ayaolah ini mimpi semua anak desa, aku bisa memberikan biaya untuk kamu pergi ke Jakarta, aku tahu kondisi keluargamu seperti apa, sekarang sudah saatnya kamu yang merubahnya”, ungkap “Pak Budi, sambil memegangi tas kesayangannya yang sobek”, rasanya aku tidak bisa meninggalkan keluargaku disini, aku menyayangi mereka, mungkin aku masih berpikir seribu kali untuk ke Jakarta Pak, rasanya amat berat di keadaan yang seperti ini, bagaimana kalau aku ke Jakarta lalu aku mendengar kabar berita buruk, yaitu ayah telah tiada, sebelum ayah tiada, setidaknya aku ada di sampingnya pak, dan menutupi badannya dengan sarung kesayangannya. Kita akan melihat mewahnya Jakarta di TV saja pak, sahut aku dengan senyuman. Yoweslah, kalo begitu, nanti kalau kamu berubah pikiran datang kesini, dan aku akan membuang TV ini agar kau tidak kembali tapi kau langsung pergi ke Jakarta, ucap pak budi yang terus memaksaku.  

Dengan secercah harapan yang aku impikan sirna semua, karna satu alasan yaitu ayah, atau aku ingin sekali pergi ke Jakarta, karena disana gudangnya orang orang sukses dan bisa membeli kasur yang empuk untuk ayah dan ibuku, sejak lahir kami hanya tidur beralaskan karpet dan dengan tembok triplek di sisi kanan dan kiri dan kita hanya punya satu bantal, bahkan bantal itu dibagi menjadi tiga, kadang juga ayah tidur diluar dengan ditemani angin malam yang sangat dingin, mungin dari sini lah yang menyebabkan ayah selalu batuk dan tidak berhenti sampai sekarang setelah hampir 3 minggu yang tidak kunjung sembuh karena sering kena angin malam.  

Kemudian aku pun pulang dengna wajah yang agak murung dan seperti biasa aku duduk di depan rumahku yang bangkunya aku bikin sendiri dari kayu yang tidak dipakai dari pekerja pencari kayu itu di samping rumah dan kemudian ayah datang dari dalam rumah dan langsung bertanya kepada ku, mengapa kau akhir akhir ini selalu saja diam saja dan seperti tidak ada gairah hidup, pergilah nak, ayah tahu apa yang sedang kamu pikirkan, biarkan saja ibu dan ayah disini, aku ingin dengar, setelah 5 tahun kau disana dan kau pulang membawa cucu dan memberikan kasur sesuai janjimu dulu kan, sambil ayah tertawa kecil.
















Ayah percaya kamu bisa nak, lupakan perkataan ibumu kalau kamu tetap
disini kau tidak jadi apa apa nak. 



Seperti anak muda kebanyakan aku pun senang mendengarnya atas apa yang ayahku bilang tadi, kemudian aku mulai membereskan barang barangku, yang tadinya aku galau, kini semangatku mulai tumbuh dan aku sangat percaya diri akan diriku atas semangat yang telah diberikan ayah. Namun saat aku membereskan baju bajuku, aku melihat ada sarung ayah di dekat kamarku, yang warnanya tidak aku kenali, perasaan, aku hanya punya warna sarung hijau dan putih saja, namun mengapa ini warna putih kemerahan dan juga ada bercak titik titik merah seperti ini, apakah ini sarung baru atau motif yang baru aku tidak tahu. Lalu datanglah ibu yang melihat ku hanya tersenyum saja dan memberikan ku nasihat.

“Semoga kau bisa menjadi manusia yang lebih hebat ya nak disana”, ujar ibu sambil duduk di sampingku dan memegang teh panas di cangkir besar favorit ayah untuk diberikan kepada ayah yang ada di luar.  

Setelah rapih aku tak sabar untuk pergi, namun ketika itu sebelum aku pergi. Aku melihat bahwa sarung merah itu sudah tidak ada, mungkin sudah diambil oleh ibu, dan saat aku sudah mulai berdiri dan sangat amat percaya diri, saat aku ingin pamit kepada kedua orang tuaku, aku sangat kaget saat menoleh ke belakang ternyata ayah sudah tersungkur di lantai dengan sarungnya yang merah itu, dan ternyata warna merah itu adalah darah batuk dari mulut ayah yang sudah lama yang  disembunyikan kepadaku.

Lalu ibu berkata, pergilah nak, ibu sudah ikhlas disini sendiri, ibu sudah berfirasat bahwa ayah akan pergi secepat ini, maka dari itu, ibu menyiapkan sarung ini supaya baju ayahmu itu tetepa bersih dan sarung kesanyangannya itu menjadi saksi hidup ayah melawan sakitnya, ayahmu akan mendoakmu disana dan kau akan menjadi sukses nak, ibu akan menjaga rumah ini yang ayah dan ibu bangun dari sejak kamu kecil. Jangan pendam mimpi mu, oh iya nanti ayahmu akan dikuburkan di sebelah kakekmu di sebrang hutan sana.

"Kalau kamu rindu ayahmu kau tak perlu jauh jauh kesini nak, kau bawa saja ini sarung kesayangan ayahmu agar kau tetep bersama ayah di sepanjang hari". 

Aku tertunduk nangis yang amat sambil memeluk jenazah ayah dan ibuku.

Diterbitkan oleh dimasprasetyosite

Bropini, berasumsi dari sudut pandang yang berbeda walau kadang hanya menjadi ilusi

Tinggalkan komentar